Di suatu hari yang indah, saya
galau *halah*. Iya, galau beneran. Dan ingin pergi jauh membuang seluruh
kekesalan saya. Inginnya sih, pergi ke gunung sendiri aja. Namun, biasanya grup
Unyu –salah satu grup diskusi WA- bakal marah kalo pergi ke gunung sendirian.
Akhirnya saya meminta Bang Benny (singkatan : BB) ikut menemani –baca: paksa
ikut. X)) Namun, malam itu belum tahu gunung apa yang akan kita tuju. Antara
dua pilihan : Gede atau Ciremai. Untuk transportasi ke Gede, saya sudah cukup
tahu rute-nya karena pernah ke Gunung Pangrango. Sedangkan ke Ciremai, saya
belum pernah sebelumnya. Pikir-pikir lagi, akhirnya kita memutuskan untuk ke
Gede via Cibodas.
Ternyata, di saat yang sama Om
Ayah dan Mamce (duo pelari) ke Gede untuk latihan Trail Run. Beruntung,
ternyata kita ada teman di sana. Saya yang tanpa persiapan –bahkan menggunakan
sepatu crocs nekat untuk ikut mereka karena memang tujuan saya Puncak Gede.
Start jam 7 pagi, kita mulai lari –eh, saya jalan ding dan ditemani oleh BB dan
Mamce. Awalnya sih, kecepatan kita sama. Namun mulai di tengah perjalanan,
langkah mulai melambat dan ditinggal Mamce. Tentulah saya yang sudah tak biasa
olah raga ini tak sanggup berjalan lebih cepat. Terlebih, kaki sempat terkilir
ditanjakan. Langkah demi langkah saya jalani, BB pun setia menemani. Rasa
menyesal pun mulai datang. Entah kenapa memilih gunung sebagai tempat pelarian.
Capek, kesal, marah semua jadi satu. Tapi udah terlanjur, ya hajar saja sampai
ke puncak. Hihi.
Ketika melewati Kandang Badak,
disitulah puncak maksimal dimana BB berada dalam keadaan lapar. BB yang dari
awal hanya diam dan mengikuti langkah saya pun duduk dan mengambil roti. Selama
setengah jam kita duduk sambil menikmati makanan karena BB tidak bisa makan
sambil berjalan. Ia mesti menikmati makanan tsb. ^.^
Kita pun melanjutkan perjalanan
hingga akhirnya mencapai Tanjakan Setan, tanjakan yang terkenal di seluruh
kalangan pendaki. Namun sekarang sudah ada jalan alternatif yang lebih mudah
dilalui dibandingkan Tanjakan Setan. Saya pikir, setelah Tanjakan Setan, jalur
yang dilalui akan sama seperti jalur sebelumnya. Ternyata tidak. Curam :’D tiap
melangkah berhenti, langkah lagi berhenti lagi. :’D Aish, luar biasa jalurnya
Daaan, akhirnya kita melewati
batas vegetasi. Tidak lama lagi kita akan sampai di puncak. Setibanya di
puncak, kita bertemu para runner namun kita tidak menemukan wajah pea-nya Om
Ayah dan Mamce. “Oh, Om Pulung kayaknya turun ke Surken deh. Yang pro dan
duluan sampe pada turun kayaknya,” jawab seorang runner ketika tanyaku tentang
Om Ayah. Sambil menikmati kabut di puncak, kita menyantap teh hangat dan pop
mie. Inilah salah satu kelebihan gunung gede, banyak pedagang yang berjualan
makanan dan membuka lapak. Hihi.
Puncak :D |
Badan sudah mulai menggigil,
sudah terlalu lama kita menunggu kehadiran Om Ayah dan Mamce :’D Ayah.. Imam..
Cepatlah kembali ke puncak. Huhu. Setelah satu jam kita menunggu, akhinya
mereka datang bersama runner yang lain. Yiay! Foto-foto ! Hihihi. Ketika mereka
datang, kabut pun mulai hilang. Hiat! Mulai banyak kamera jeprat-jepret mumpung
Pangrango terlihat dari puncak.
Selesai foto-foto, kita turun
dengan santai. Namun kali ini BB dan Mamce tidak terlihat. Kita berpikir
sepertinya mereka turun duluan. Kita pun turun bertiga, Saya, Om Ayah dan Om
Dohar –salah satu peserta trail run. Awalnya kita bertiga, kemudian saya berdua
sama Om Ayah dan akhirnya sendirian ditinggal Om Ayah. -_- Saya yang masih lugu
dan polos saat itu berpikir, “Yaudah sih, turunan gini aja kan. Pasti cepatlah
kalo turun.” Namun sayang seribu sayang, dengkul saya cedera ketika turun. Ya,
hal ini biasa terjadi di Gunung Gede karena jalurnya yang penuh batu. Bikin
kaki sakit! Mau lari, kaki sakit, mau jalan terlalu lambat. Dengan kaki tertatih-tatih
pun saya berjalan menusuri hutan.
Rasanya agak sedih, lagi sakit
begitu ga ada teman di samping. Walaupun teman juga ga bisa menolong, paling
tidak ditemanin :’) Rasanya itu perjalanan paling lama yang saya rasakan. Setiap ada turunan, saya harus
mengambil posisi di mana dengkul kiri saya tidak akan terasa sakit dan itu
rasanya memakan waktu. Setelah melewati Curug Cibereum, saya mulai menangis.
Kesal karena ga ada yang nemanin, kesal karena jalan ga bisa cepat, kesal
karena kaki sakit dan kesal karena turun dari gunung saya masih galau :’D
Rasanya pengen nyalahin seseorang tapi
yang salah diri sendiri. Gimana dong ? hihi. Tapi saya merasa ketika mulai
melewati curug, ada dua pria yang menemani dari belakang. Kenapa saya merasa
ditemani ? karena saya yakin saat itu mereka pasti bisa jalan lebih cepat dari
saya bahkan cabe-cabean yang dari curug saja sudah jauh melewati saya. Di situ
mulai agak tenang. Mereka menemani saya hingga pos awal pendakian dan di akhir
perjalanan, mereka pun baru menyapa saya. Thanks to dua orang pria tak dikenal
:3
Sampai di tempat peristirahatan,
saya mulai bersih-bersih. Dan ternyata oh ternyata, BB dan Mamce masih di atas.
Lutut Imam sakit dan mesti turun pelan seperti saya. Dan akibat menemani Imam
yang turunnya terpaksa lambat, dengkul BB pun ikutan sakit. Hihi. Lanjut santap
malam! Pasti ini yang BB nanti-nantikan. Makan yang banyak ya bang. Bersyukur
malam itu kita dapat tebengan ke Kp.Rambutan. Dan dengan tidak sopannya, saya
tertidur di dalam mobil -_- hingga berkali-kali kepala saya terantuk di kaca
mobil tidak bangun juga. Padahal yang lain juga sama capeknya namun tidak ada
yang tidur. :’) Maafkan.
Kita lanjut dari Kp.Rambutan
menuju Slipi dan lanjut lagi ke arah Binus. Yap, dan sepanjang perjalanan saya
tertidur dan BB yang menemani saya. Haha. Terima kasih banyak loh Bang Benny.
Mau saja vaza repotkan :’D Sekesal-kesalnya saya hari itu, tetap menjadi bagian
paling indah dari cerita hidup saya. ^.^
kiri BB, sebelahnya Imam, Paling belakang Om Ayah |
Trail Run, 17 Mei 2014